MAKALAH HASIL OBSERVASI
SEKOLAH LUAR BIASA
Dosen Pengampu : Adriani Rahma Pudyaningtyas, S.Psi., MA
Disusun Oleh :
1. Mega
Sinta Wulandari (K8114039)
2. Nur
Afifah (K8114046)
3. Riska
Puspaningrum (K8114057)
4. Tiffany
Marceliawati (K8114065)
5. Wahidah
Daimaturrochmah (K8114071)
6. Woro
Anjar Verianty (K8114072)
PENDIDIKAN GURU
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS KEGURUAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS
MARET
SURAKARTA
2015
Daftar Pustaka
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anak adalah bagian dari kehidupan dan
merupakan harapan bangsa. Anak menjadi agen perubahan bagi pembentukan
kehidupan masa depan sebuah bangsa. Thomas Lincon (Depkominfo, 2006) menyatakan
bahwa meskipun jumlah anak-anak hanya 25% dari jumlah penduduk, tetapi
menentukan 100% masa depan. Pemberian pendidikan yang baik akan membuat
anak-anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan usia dan tahap peerkembangannya.
Saat ini dunia
perkembangan anak dan pemberian pendidikan pada anak sejak dini menjadi
hal menarik untuk diteliti. Masalah perkembangan anak menjadi kajian yang
banyak diminati oleh para ahli psikologi untuk dipecahkan. Karena pada
kenyataannya selain anak-anak yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada
umumnya, beberapa anak tidak dapat mengalami pertumbuhan dan perkembangan
seperti anak pada umumnya. Kelompok anak-anak ini adalah anak-anak yang
perkembangan dan pertumbuhannya mengalami penyimpangan baik dari segi fisik,
mental, emosi, dan sosialnya bila disandingkan dengan anak-anak pada umumnya.
Kelompok kecil yang berbeda ini sering dipandang sebagai kelompok anak yang
banyak mendapat pandangan negatif dan perlakuan negatif dari banyak lingkungan.
Pada masa Renaissance, anak yang
tergolong ‘cacat’ dianggap sebagai anak yang kemasukan roh jahat (setan) dan
bahkan diperlakukan dengan sangat buruk. Disia-siakan dan dihina dan bahkan
diperlakukan secara tidak manusiawi. Banyak dari mereka yang kemudian dikurung,
diikat, bahkan dipasung. Kemudian pada abad ke-16 terjadi perubahan sikap yang
lebih pasif terhadap anak-anak yang dianggap ‘cacat’. Pada abad ke-18, seorang
ahli berkebangsaan Prancis yakni Jean
Itard, mulai meneliti metode pendidikan bagi anak luar biasa (Mangunsong,
1998). Dengan penelitian Itard ini,
mulailah pergeseran pengertian dari anak ‘cacat’ menjadi anak ‘luar biasa’.
Seiring berkembangnya zaman dimana pendidikan mengambil peran
besar dan banyak, masyarakat dan orang tua mulai diberikan pengertian dan
pengetahuan bahwa setiap anak adalah unik bahwa setiap anak yang terlahir pasti
memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, hal ini disebabkan oleh keberagaman ciri
maupun karakteristik individu anak yang dibawa. Agar anak dengan kebutuhan
khusus mampu berkembang dengan baik peran orang-orang disekitar anak sangat
penting. Motivasi dan perhatian yang penuh kasih sayang dari orang-orang
terdekat (keluarga) akan memberikan efek positif terhadap anak. Hal utama yang
paling dibutuhkan anak-anak kelompok ini adalah dapat diterima oleh
lingkungannya sekalipun dengan keterbatasan yang dimilikinya. Metode dan
pelayanan yang berdaya guna dan tepat guna melalui sekolah yang diwujukan dalam
pemberian pendidikan berperan dalam menjadikan anak dapat duduk setara seperti
anak-anak pada umumnya dan menempatkan mereka sebagai bagian dari sebuah tatanan
masyarakan dan pelaku kehidupan di masyarakat yang keberadaannya diakui dan
dapat secara optimal mengaktualisasikan diri mereka sebagai warga negara yang
aktif tanpa melihat terhadap keterbatasan yang mereka miliki.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
kebutuhan khusus yang dialami anak ?
2.
Bagaimana
proses kegiatan belajar anak ?
3.
Bagaimana
perlakuan dari lingkungan sekitar dan apa saja treatment yang diberikan pada
anak ?
4.
Apa
saja potensi yang dimiliki anak ?
5.
Bagaimana
peran kurikulum dalam proses belajar anak disekolah ?
C. TUJUAN
1.
Mengetahui
apa saja kebutuhan khusus yang dialami anak.
2.
Mengetahui
bagaimana proses kegiatan belajar anak.
3.
Mengetahui
bagaimana perlakjuan yang diberikan lingkungan sekitarnya serta treatmen yang
diberikan pada anak.
4.
Mengetahui
apa saja potensi yang dimiliki anak.
5.
Mengatahui
peran kurikulum yang berlaku terhadap proses belajar anak disekolah.
BAB II PEMBAHASAN
1. DESKRIPSI UMUM
Pada tanggal 29 Mei 2015,jam
08.00WIB-selesai kelompok kami melakukan observasi di Yayasan Rehabilitasi Tuna
Rungu Wicara,SLB.B YRTRW. Sekolah ini berada dijalan Gumunggung RT 01 RW
2,Gilingan Banjarsari. Sekolah ini berada dijalan perkampungan sehingga tidak
begitu ramai Bangunan sekolah ini terdiri atas dua lantai, lantai pertama
digunakan untuk ruang kelas dari jenjang TK hingga SD,juga ruang kepala
sekolah,ruang guru,dan ruang tata usaha. Sedangkan lantai atas untuk ruang
kelas jenjang SMP dan SMA. Ruang kelas digunakan untuk 2 jenjang sekaligus,yang
hanya dipisahkan dengan sekat pembatas. Halaman sekolah ini juga tidak begitu
luas,namun cukup untuk digunakan senam
para siswa.
Fokus observasi kelompok kami pada TK di
SLB.B YRTRW . Disekolah tersebut hanya memiliki dua kelas untuk TK, dimana
terdapat satu ruangan yang dibagi menjadi dua. Disetiap kelas terdapat satu guru
yang menangani 3 – 5 murid. Didalam kelas terdapat berbagai gambar dan alat
peraga. Didinding kelas siswa dapat memejang hasil karyanya. Orang tua siswa
diperbolehkan menunggu didepan kelas, tapi tentu saja tidak mengganggu jalannya
pembelajaran. Dalam mengajar guru menyampaikan dengan bahasa isyarat dan
pengucapan yang tepat mengingat siswa merupakan anak berkebutuhan khusus.
2. HASIL OBSERVASI
A. Kebutuhan khusus yang dialami oleh anak
Anak di SLB yang kami amati berkebutuhan
khusus yaitu tuna rungu dan tuna wicara. Seseorang bisa dikatakan tuna rungu
apabila seseorang itu tidak memiliki atau masih memiliki sisa pendengaran namun
sedemikian rendahnya sehingga tidak bisa mendengar suara sebagaimana orang pada
umumnya. Anak berkebutuhan khusus tuna rungu tidak bisa dipisahkan dengan anak
berkebutuhan khusus tuna wicara. Karena tidak bisa mendengar suara, maka secara
otomatis anak tuna rungu tidak bisa mengucapkan kata-kata jika tidak dilatih.
Namun, belum tentu anak yang tuna wicara juga berkebutuhan khusus tuna rungu.
Anak bisa mendengar suara tapi tidak bisa mengucapkan kata-kata secara jelas
karena keterbatasan alat ucapnya.
Hambatan yang dialami oleh anak yaitu
kesulitan atau ketidakmampuan anak dalam menerima informasi dari luar. Karena
kesulitannya dalam menerima infomasi dari luar, maka anak mengalami kesulitan
berkomunikasi. Untuk mengatasi masalah tersebut, guru berbicara dengan anak
menggunakan artikulasi yang jelas dan diulang-ulang serta menunjukkan atau
memperagakan apa yang ingin guru sampaikan. Orang tua dirumah juga terus
merangsang anak dengan lebih banyak berbicara dengan anak agar anak terlatih
untuk memahami suatu kata.
Anak juga mengalami kesulitan dalam
belajar. Dalam kegiatan belajar mengajar, anak mengalami kesulitan dalam
menangkap kata-kata yang abstrak. Mungkin karena anak masih dalam rentang usia
2-7 yang kemampuan kognitifnya masih dalam tahap praoperasional konkret.
Sehingga anak akan menunjukkan keinginanya dengan gambar dan kata-kata. Anak
tidak sepenuhnya tidak bisa bicara, anak masih bisa mengeluarkan suara walaupun
sedikit sambil tangannya mengisyaratkan sesuatu. Seperti yang kami amati ketika
anak mengatakan sesuatu yang tidak begitu jelas sambil tangannya menunjuk pada
sebuah toko lalu ia menarik tangan ibunya, dikira ibunya anak ingin jajan.
Ternyata bukan makanan yang anak ini inginkan tetapi anak ini ingin dibelikan
penghapus yang baru. Begitu salah satu cara dia menyatakan keinginaanya.
Karena kesulitan dalam pendengaran,
terkadang guru sulit untuk menarik perhatian anak ketika pembelajaran. Padahal
salah satu faktor yang mendukung dalam perkembangan bicara anak yaitu dengan
memperlihatkan gerakan bibirnya ketika berbicara. Ketika anak tidak
memperhatikan guru, guru akan semakin sulit dalam menyampaikan suatu informasi.
Maka jika ada anak yang sedang tidak fokus, maka guru menghampirinya dan
mengajaknya bicara agar anak bisa memperhatikan. Jumlah siswa TK di sekolah
tersebut maksimal satu kelas ada 5 siswa, jadi guru lebih mudah dalam
membimbing anak saat pembelajaran.
Anak mengalami kesulitan dalam berbahasa.
Anak berbicara dengan artikulasi yang kurang jelas dan terkadang kurang lancar
dalam berbicara. Terkadang anak juga terbolak-balik dalam menyusun kat-kata.
Anak akan lebih paham jika lawan bicaranya mengucapkan kata dengan jelas,
menekankan gerakan bibirnya, pelan, dan dibantu dengan isyarat. Anak juga tidak
bisa langsung paham jika diajak bicara, harus diulangi terus menerus.
B. Kegiatan Belajar
Proses belajar-mengajar yang diterapkan disekolah tersebut
terutama di TKLB menggunakan metode pengajaran yang tepat yaitu menggunakan TCL
(Teacher Center Learning). Metode tersebut digunakan dengan maksud anak-anak
yang memiliki kekurangan mental apabila dibiarkan dan menyuruhnya belajar
sendiri maka yang terjadi mereka akan bermain-main dengan temannya dan tidak
berkonsentrasi dalam belajar.
Dengan menggunakan metode pembelajaran yang berpusan kepada
guru maka anak akan dibimbing guru untuk melakukan pembelajaran dikelas yang
lebih efektif dan mampu berkonsentrasi. Guru juga dituntut untuk selalu focus
terhadap anak karena perilaku anak yang selalu berubah dan tidak mudah
dikendalikan.
Sebelum pembelajaran berlangsung dilakukan berdoa bersama
untuk mengawali belajar, selanjutnya guru menannyakan tentang hari, tanggal,
bulan dan tahun yang bertujuaan agar anak selalu mengenal akan nama-nama hari.
Selanjunya kegiatan ini selama 2x30menit, pembelajaran ini dilakukan dengan
mengambil beberapa tema yang telah ada dikurikulum yang diterapkan sekolah.
Kegiatan akhir anak diajak unutk mengingat apa yang telah dipelajari
selanjutnya berdoa sebelum pulang.
Apabila anak tersebut melakukan sesuai apa yang diperintah
guru maka anak tersebut akan mendapatkan reward dari guru seperti memberikan
nilai yang baik, memberikan pujian dan sebaliknya apabila anak tersebut
melakukan hal yang tidak baik maka guru harus selalu menegurnya dan mengarahkan
untuk berperilaku yang baik.
Untuk mendukung terciptannya keefektifan pada saat
belajar-mengajar diperlukan manajemen kelas yang se efektif mungkin mulai dari
tata kelola kelas, adanya peraturan dalam penyelenggaraan kelas yang mendukung
terciptanya kelas yang kondusif, guru dituntut untuk selalu mengawasi setiap
anak agar dapat mengetahui perkembangan anak tersebut.
Keaktifan anak juga selalu dikembangkan dengan menggunakan
beberapa metode seperti melalui gambar dengan menjelaskan gambar tersebut.
Menunjukkan benda nyata agar anak lebih mengenal menggunakan pengamatannya.
Maka dari itu terjalinnya hubungan yang baik dengan guru juga menjadi kunci
utama dalam belajar-mengajar. Guru sebagai fasilitator dalam kegiatan belajar
mengajar yang mengerti akan kebutuhan anak untuk meningkatkan kemampuan yang
dimilikinya.
C. Perlakuan lingkungan sekitar dan treatmen yang dilakukan
Dalam pendidikan, lingkungan dibagi menjadi 3 macam yaitu
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Dalam
lingkungan keluarga, anak pernah diberi treatment artikulasi digunakan abk tuna wicara untuk melatih pengucapan dan terapi gong digunakan abk tuna rungu untuk mengecek kepekaan telinga. Treatment
tersebut berikan orang orangtua selama satu tahun atas anjuran dokter, tetapi
selama setahun itu tidak ada perkembangan yang ditunjukkan sianak. Maka dari
itu orang tua memilih untuk menghentikan terapi tersebut dan orang tua memasukkan
anaknya ke SLB. Dalam keluarga anak diajarkan untuk mandiri misalnya seperti
mandi sendiri, makan sendiri, dan pergi ke toilet sendiri. Walaupun orang tua
sadar bahwa anak mereka memiliki kekurangan dalam hal berbicara dan mendengar,
akan tetapi keluarga yakin bahwa anak dapat mandiri. Ketika dirumah anak
belajar dengan sesuka hatinya. Akan tetapi, apabila anak diberi PR oleh gurunya
maka anak dengan semangat mengerjakan PR tersebut. Orang tua menemani anak saat
belajar dan memberikan bimbingan pada anak. Orang tua juga memberikan pujian
sebagai bentuk dorongan dan motivasi bagi anak agar anak bisa percaya diri
dalam melakukan setiap kegiatannya.
Letak sekolah yang jauh dari jalan raya membuat proses
belajar anak menjadi lebih aman, nyaman dan tenang. Lingkungan sekolah sangat
membantu anak dalam pendidikannya. Sekolah mengajarkan bahasa isyarat dan
peragaan agar anak dapat menyampaikan sesuatu dengan cukup jelas. Sekolah si
anak lebih mengutamakan anak dapat berbicara, walaupun anak tak dapat berbicara
layaknya anak normal lainnya tetapi setidaknya anak sudah berusaha untuk
bicara. Sekolah juga memberikan beberapa treatment seperti artikulasi dan
terapi gong.Tak hanya treatment, sekolah juga memberikan pembelajaran layaknya
sekolah PAUD pada umumnya seperti belajar membaca, menyanyi, mewarnai, melipat
kertas, dan olahraga. Menurut ibu si anak, setelah anak disekolahkan di SLB
selama 2 tahun anak menunjukkan beberapa perkembangan. Ketika disekolah anak
belum mau ditinggal ibunya, jadi selama pembelajaran dikelas ibu si anak
menunggu di teras kelas. Didalam kelas ketika anak sudah selesai mengerjakan
tugasnya maka ia akan bermain sendiri atau berlarian kesana kemari seperti anak
normal pada umumnya. Dilingkungan sekolahnya anak dapat berkomunikasi dengan
baik, baik itu teman atau gurunya.
Dalam masyarakat, masih ada sebagian kecil orang yang belum
bisa menerima kekurangan anak, tetapi hal tersebut tidak membuat anak berkecil
hati dan minder, anak justru senang bermain-main dengan orang-orang disekitar
rumahnya. Anak dapat bersosialisasi dengan masyarakat sekitar rumah dengan
menggunakan bahasa isyarat dan sebagian dari masyarakat itu dapat memahami apa
yang dimaksud si anak. Anak juga memiliki teman di lingkungan sekitarnya dan teman-temannya tersebut dapat menerima
kekurangan si anak sehingga anak dapat bermain dengan nyaman tanpa ada
perbedaan diantara mereka. Dengan pendidikan yang diterima anak dalam
lingkungan keluarga dan sekolah anak dapat berinteraksi dengan baik di
masyarakat.
D. Potensi Anak
Menurut Endra K Pihadhi
(2004;6) potensi bisa disebut sebagai kekuatan, energi, atau kemampuan yang
terpendan yang dimiliki dan belum dimanfaatkan secara optimal. Sri Hapsari
(2005;2) menjelaskan potensi diri merupakan kemampuan dan kekuatan yang
dimiliki oleh seseorang baik fisik maupun mental dan mempunyai kemungkinan
untuk dikembangkan bila dilatih dan ditunjang dengan sarana yang baik.
Dari pengamatan yang telah
kami lakukan di SLB-B YRTRW, sekolah khusus tuna rungu wicara Surakarta yang
direalisasikan pada jum’at, 29 Mei 2015 kami mengambil sempel satu anak dari
kelas P1 berumur 5 tahun dengan kebutuhan khusus kelompok B dan menderita dua
keabnormalan yaitu anak rungu-wicara. Melalui metode wawancara yang kami
lakukan dengan orang tua anak, anak tidak terlahir dengan kekhususan yang
dimilikinya sekarang. Ketika berumur 2 bulan anak pernah menjalani operasi
pengangkatan benjolan kecil seperti tumor di bagian leher, tepat di belakang
telinga dengan pembedahan vertikal. Setelah mengalami keterlambatan berjalan dan
belum bisa berbicara diusianya 2 tahun orang tua membawa anak ke RS.M bagian
tumbuh kembang anak. Setelah melakukan serangkaian tes, dokter menyarankan anak
untuk di bawa ke bagian THT (telinga, hidung, tenggorokan) setelah melihat anak
tidak merespon panggilan dan bunyi yang ditujukan kepadanya. Setelah dites Bera
anak dinyatakan sebagai anak berkebutuhan khusus tuna rungu-wicara. Anak
mengalami hearing less (tuna rungu
total), alat bantu dengar yang dipasang ditelinga anak tidak dapat membuat anak
merespon bunyi yang datang dari luar.
Melalui metode wawancara
yang telah kami lakukan dengan orang tua anak, sejauh pengamatan dan tingkat
kesenangan anak, orang tua mengatakan bahwa anak mempunyai potensi dibidang
menulis. Hal ini didukung dengan anak lebih suka pada alat tulis seperti
pensil, penghapus, dan buku tulis dibandingkan pada pensil warna, buku
bergambar dan berwarna. Pernah suatu kali orang tua mencoba mengenalkan
nama-nama buah dengan gambar dan warna tapi anak tidak mau. Kapasitasnya untuk
menulis lebih banyak dilakukan hal ini dikatakan oleh orang tua anak “ kalau si
N sukanya menulis mbak, setelah pulang sekolah langsung menulis. Meskipun ya
tulisannya kadang-kadang tidak bisa dibaca”. Potensi lain yang dimiliki anak
adalah anak mempunyai sosialisasi yang baik dengan teman sebayanya di
lingkungan sekolah maupun di lingkungan tempat anak tinggal. Meski sedikit
berbeda dengan anak biasa, anak tetap menjalin pertemanan dengan anak lain
dilingkungan rumahnya. Untuk berkomunikasi mereka menggunakan isyarat dan
gerakan bibir agar komunikasi dapat berjalan dua arah. Anak dapat menyesuaikan
diri dan melakukan sosialisasi dengan baik, tidak minder dan mempunyai kemauan
yang keras.
Seorang ahli bernama
Bronfenbrenner (2006) menyatakan bahwa kesejahteraan psikis dan fisik serta
pendidikan anak sangat tergantung pada sejahtera atau tidaknya keluarga.
Keluarga mempunyai peran penting dalam mengembangkan bakat, potensi dan
ketrampilannya dengan memberikan kebebasan dalam mengekspresikan diri mereka.
Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua akan menjadi hal penting yang akan
ikut menentukan arah perkembangan dan prtumbuhan anak. Teori Psikososial Erikson menyatakan autonomy vs shame and doubt. Ketika orang tua memberikan kebebasan
dan dorongan pada anak untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan
tidak cenderung banyak menuntut (pengasuhan otoriter) dan membatasi anak maka
anak akan mengembangkan sikap mandiri dan pengendalian atas diri mereka. Hal
ini akan mengurangi presentase anak untuk mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu
pada hal yang akan dilakukannya. Jika orang tua terlalu protektif terhadap anak
disebabkan karena kekhususan yang dimilikinya maka anak akan menjadi defendent (ketergantungan). Anak tidak
diberi kesempatan offensif sehingga
muncul socio-conform sehingga anak
menjadi defendent. Anak menjadi self relation (hanya mampu
bersosialisasi dengan dirinya sendiri) dan akan mengembangkan rasa takut salah
pada tahap selanjutnya karena biasa di dikte oleh orang tua dalam melakukan
segala hal.Dari hasil observasi yang telah kami lakukan dengan metode
wawancara, orang tua mengatakan bahwa si anak sudah mulai mengembangkan
kemandiriannya, anak sudah dapat mandi, berpakaian, buang air kekamar mandi
tanpa bantuan dan cebok sendiri.
Yang perlu diperhatiakan
oleh orang tua adalah seberapa jauh anak perlu diperhatikan, diberi kebebasan
dan kesempatan untuk mengekspresikan ide-idenya, dihargai hasil
karya/prestasinya, didengar isi hatinya, tidak ada paksaan/tekanan dan ancaman
terhadap dirinya, serta mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan tingkat
usia dan perkembangan kejiwaannya tanpa meninggalkan kekhususan yang
dimilikinya. Teori psikososial Erikson menyatakan
initiative vs guilt dimana ketika
orang tua sudah dapat memahami, menerima keaktifan anak, bersabar, dan dapat
menjawab keingintahuan anak mengenai sesuatu hal maka anak akan belajar
mendekati keinginannya dan perasaan inisiatif menjadi semakin kuat. Hal ini
akan mengurangi anak enggan mengambil inisiatif untuk mendekati keinginannya
dan akan merasa bersalah. Sikap inisiatif sangat diperlukan anak untuk menggali
potensi yang ada pada diri mereka karena inisiatif akan menjadi dasar bagi anak
untuk bertindak produktif pada tahap selanjutnya sehingga seluruh potensinya
akan berkembang optimal.
Sekolah hanya sebagai salah
satu faktor keberhasilan anak dalam mengenyam pendidikan untuk mencapai
kesetaraan dan meningkatkan dirinya didalam masyarakat. Pendidikan sebagai
bekal dalam pemberian stimulus untuk merangsang potensi anak dan
mengoptimalkannya tapi tetap pendidikan bermula dari keluarga. Dengan hal ini
diharapkan nantinya akan dapat menempatkan anak-anak ini ditengah-tengah
masyarakat sebagaimana mestinya, mereka akan mampu, mereka akan senang, dan
mereka akan mencapai hidup layak (a
placement).
E. Kurikulum di Sekolah
Kurikulum merupakan acuan
dalam pelaksanaan pembelajaran dibidang pendidikan oleh sekolah. Kurikulum
disusun oleh pemerintah guna menentukan arah dan tujuan yang sama dalam bidang
pendidikan yang dilaksanakan oleh semua sekolah diseluruh indonesia dengan
latar belakang dan tingkat kebutuhan yang berbeda-beda. Kurikulum bersifat
elastis dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Dari pengamatan yang telah
kami lakukan di SLB-B YRTRW, sekolah khusus tuna rungu wicara Surakarta yang
direalisasikan pada jum’at, 29 Mei 2015 dengan metode wawancara dengan guru.
Guru menyatakan bahwa untuk SLB-B YRTRW masih menggunakan kurikulum lama dan
masih dalam rangka persiapan untuk menggunakan kurikulum 2013 ditahun yang akan
datang. Dilansir dari joglosemar.com
bahwa sebagian guru PLB mendapatkan pelatihan kurikulum 2013 untuk umum karena
kurikulum yang dipakai untuk PLB merupakan kurikulum modifikasi. Pelaksanaan
penerapan kurikulum 2013 akan dimulai pada tahun ajaran baru, dan saat ini baru
diprogramkan. Tim pengembangan kurikulum 2013 PLB bidang pendidikan dasar
(Dikdas) tingkat nasional, Karsono mengharapkan dengan program penerapan
kurikulum 2013 untuk PLB akan mampu memberikan pendidikan karakter pada siswa
karena kurikulum 2013 menekankan pada nilai pendidikan karakter sehingga mampu
memberikan empat kompetensi inti pada siswa berkebutuhan khusus yaitu religi,
sosial, pengetahuan, dan aplikasi/ketrampilan.
Menurut guru SLB-B YRTRW
kurikulum yang digunakan saat ini adalah kurikulum lama untuk SLB, untuk
kurikulum baru yaitu kurikulum 2013 masih dalam proses persiapan dan
penyempurnaan untuk tahun ajaran baru. Pada prinsipnya kurikulum yang dipakai
untuk SLB hampir sama dengan kurikulum umum untuk sekolah reguler. Dari segi
materi pembelajaran yang akan diberikan, kompetensi yang akan dicapai anak dan
cara penilaian. Hanya saja perbedaan terletak pada metode yang digunakan jika
sekolah reguler model pembelajarannya klasikal, SLB menggunakan model
pembelajaran individual. Lebih memperhatikan karakter anak berkebutuhan khusus
golongan B serta untuk beberapa mata pelajaran ada tambahan dan pengurangan
kompetensi yang harus dicapai siswa dan karakteristik penilaiannya. Seperti
untuk materi bahasa indonesia terdapat materi ‘Membaca Indah’, anak diajarkan tentang
membaca indah misalnya puisi, untuk anak normal materi ini dapat diajarkan dan
dipraktekkan untuk meendapat penilaian tetapi untuk SLB-B hal ini kecil sekali
kemungkinannya untuk setiap anak membacakan puisi dengan suara indah karena
untuk anak golongan ini terdapat beberapa karakteristik suara yang dimiliki
anak SLB-B. Ada yang model suaranya sengau, ada yang datar, dan ada yang hanya
gerakan bibir dan tidak ada suaranya. Tapi materi tentang puisi dan membaca
indah tetap diberikan, anak tetap mendapatkan pengetahuan tentang membaca indah
dan puisi namun dalam hasil prakteknya tidak dapat disamakan dengan anak
normal. Karena kekhususan SLB-B adalah terletak pada artikulasinya maka didalam
SLB-B ada BKPBI yaitu ‘Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama’ dimana
anak-anak normal tidak diajarkan tentang materi ini, bagaimana anak dapat
mengucapkan kata dengan benar sehingga disamping memberikan materi guru secara
tidak langsung mengajarkan cara berartikulasi.
Kurikulum yang digunakan
oleh sekolah saat ini sudah mampu mengoptimalkan potensi anak namun harus
disertai dengan pengembangan secara berkelanjutan disana-sini dan hal ini
menuntut kreativitas guru dalam menyampaikan materi pembelajaran. Pemerintah
membuat kurikulum secara garis besar dan pelaksanaannya dikelas dalam
pembelajaran terletak pada guru sebagai pelaksana untuk berkreativitas dalam
proses pembelajarannya untuk mencapai tujuan yang sama didalam kurikulum. Untuk
mendukung potensi yang dimiliki anak sekolah juga mengadakan ekstrakulikuler seperti pramuka, menari,
melukis, dan pantomim. Menurut guru, kurikulum saat ini secara keseluruhan
sudah dapat mengatasi kesulitan belajar anak SLB-B hal ini dijelaskan karena
didalam kurikulum sudah terdapat tujuan yang ingin dicapai, ada metode, ada
cara, dan ada materi yang akan di berikan dimana materi yang akan di berikan
untuk SLB-B disesuaikan dengan kemampuan anak.
Kendala dalam melaksanakan
kurikulum ini hanya berlaku untuk beberapa anak yang memang benar-benar berat
dalam artian kekhususan yang dimiliki anak lebih mendominasi sehingga anak
sangat sulit mengembangkan dirinya. Sebagus apapun kurikulumnya kendala tetap
ada karena di terapkan pada masing-masing anak yang berkarakter berbeda tetapi
kendala tidak begitu prinsip dalam artian tidak begitu mempengaruhi hasil
secara keseluruhannya.
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sekolah sebagai salah satu faktor keberhasilan anak dalam
mengenyam pendidikan untuk mencapai kesetaraan dan meningkatkan dirinya. Pendidikan
sebagai bekal dalam pemberian stimulus untuk merangsang potensi anak dan
mengoptimalkannya
Kurikulum yang digunakan oleh sekolah saat ini dianggap
telahdapat mengoptimalkan potensi anak dengan disertai pengembangan secara berkelanjutan disana-sini
dan kreativitas guru dalam menyampaikan materi pembelajaran.
Dalam sistem pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus tidaklah berbeda jauh dengan anak yang normal. Anak
berkebutuhan khusus juga diberikan pelajaran-pelajaran yang sama dengan yang
diberikan pada anak normal, hanya dalam prosesnya pelajaran diberikan melalui
metode yang khusus agar dapat dipahami anak.
B. SARAN
Di masyarakat saat ini masih ada segelintir
orang yang menganggap bahwa anak
berkebutuhan khusus tidak dapat berbuat banyak. Pandangan ini jelas merugikan
anak, tidak hanya anak yang bersangkutan tapi juga menimbulkan kecemasan bagi
keluarga si anak. untuk itu perlu adanya kreativitas guru dalam mengembangkan
potensi serta keterampilan anak melalui pelatihan-pelatihan seperti menjahit,
meronce, dan lain sebagainya.
Untuk itu dapat diawali dengan
menghilangkan pandangan bahwa anak berkebutuhan khusus tidak bisa berbuat
banyak. Tetapi haruslah di bangun pandangan bahwa kekurangan yang dimiliki anak
bukanlah menjadi sebuah hambatan melainkan menjadi motivasi dalam menjalani
kehidupan.
Daftar Pustaka
Joglosemar.”Kurikulum
2013 Serentak Di Seluruh SLB” . http://joglosemar.co/2013/12.kurikulum-2013-serentak-di-seluruh-SLB . Diakses pada
tanggal 29 Mei 2015
Ahmad,
Abu dan Widodo Supriyono. 2004 . Psikologi Belajar . Rineka Cipta.
0 komentar:
Posting Komentar